Revitalisasi Birokrasi dalam Pelayanan Perizinan di Kabupaten Sinjai

Mansyur, Mansyur (2015) Revitalisasi Birokrasi dalam Pelayanan Perizinan di Kabupaten Sinjai. S2 thesis, Universitas Negeri Makassar.

[img] Text
ABSTRAK, MANSYUR. 2015.doc

Download (133kB)

Abstract

ABSTRAK MANSYUR. 2015. Revitalisasi Birokrasi dalam Pelayanan Perizinan di Kabupaten Sinjai (Dibimbing oleh Promotor Juanda Nawawi serta Kopromotor Nurdin Arsyad dan Sulaiman Samad) Tujuan penelitian ini adalah (i) untuk mengambarkan dan menganalisis proses revitalisasi birokrasi dalam pelayanan perizinan di Kabupaten Sinjai; (ii) untuk mengambarkan dan menganalisis kualitas pelayanan perizinan di Kabupaten Sinjai dan (iii) untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor pendukung dan penghambat revitalisasi birokrasi dalam pelayanan perizinan di Kabupaten Sinjai. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan teknik pengumpulan data dengan wawancara, observasi dan studi dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (i) Proses revitalisasi birokrasi dalam pelayanan perizinan di Kabupaten Sinjai mengarah pada perubahan tiga aspek yaitu: Pertama, aspek penataan organisasi perizinan (tupoksi dan pelimpahan kewenangan); Kedua, aspek sistem prosedur dan waktu perizinan; dan Ketiga, aspek perubahan sikap atau perilaku. (ii) Pelayanan perizinan di Kabupaten Sinjai dikategorikan berkualitas dilihat dari dimensi: assurance (jaminan kualitas pelayanan), empathy (empati aparatur), tangible (fasilitas fisik yang memadai), realiable (kehandalan), dan Responsivenes (daya tanggap). (iii) Faktor yang mempengaruhi revitalisasi birokrasi pelayanan perijinan di Kabupaten Sinjai: (a) Faktor Pendukung; kepemimpinan yang baik, lingkungan kerja yang kondusif, kesadaran aparatur yang baik, kelengkapan sarana dan prasarana yang memadai, budaya yang sesuai visi dan misi organisasi. (b) Faktor Penghambat; aparatur yang kurang terampil, jumlah aparatur yang terbatas, alat teknologi tidak mampu digunakan, sarana dan prasarana mobilitas yang terbatas, dan tekanan pelanggan masih kurang ABSTRACT MANSYUR. 2015. Dissertation. Revitalization of Bureaucracy in Licensing Services in Sinjai District (Supervised by Juanda Nawawi as the prometer, Nurdin Arsyad and Sulaiman Samad as the co-promoters) The study aims at (i) describing and analyzing the revitalization process of bureaucracy in licensing services in Sinjai district, (ii) describing and analyzing the quality of licensing services in Sinjai district, and (iii) identifying and analyzing the supporting and inhibiting factors of revitalization of bureaucracy in licensing services in Sinjai district. The study employs descriptive qualitative approach. Data is collected through interview, observation, and dokumentation. The results of the study reveal that (i) the revitalization process of bureaucracy in licensing services in Investment Agency and licensing services Sinjai district leads to the management in three aspects: First, organizational structuring of the licensing aspect; second, procedure system and licensing time aspect; and third, attitude changes or behavior aspect. (ii) Licensing services in Sinjai district at Investment Agency is categorized as qualified, proved by the dimensions of assurance (quality guarantee of service), empathy (apparatus empathy), tangible (sufficient physical facility), reliable, and responsiveness; (iii) the factors which influence revitalization of bureaucracy in licensing services in Sinjai district: (a) the supporting factors; good leadership, conducive working environment, good awareness of the apparatus, sufficient facility and infrastructure, vision and mission of organization based on culture, (b) the inhibiting factors; lack of skills of apparatus, limited number of apparatus, limited number of apparatus, unable to be used technology equipment, limited facility and infrastructure, and less demand of customers. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan menjadi suatu hal yang sangat penting untuk kita telusuri perkembangan mengingat dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Berlakunya peraturan tersebut mengakibatkan interaksi antara aparat daerah dan masyarakat menjadi intens. Hal ini ditambah semakin kuatnya tuntutan terhadap manajemen pelayanan yang berkualitas. Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Kep. Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2004). Pemerintah Daerah dalam pelayanan perizinan mungkin yang paling dominan dalam pengertian interaksinya secara langsung dengan masyarakat sebagai penyedia pelayanan. Kepentingan Pemerintah Daerah terhadap pelayanan perizinan mempengaruhi pendapatan dan investasi daerah. Kewenangan untuk memungut pajak dan retribusi serta penerbitan izin menurut undang-undang dan peraturan yang berlaku. Namun untuk mencegah terjadinya pungutan pajak dan retribusi yang berlebihan serta perizinan yang menghambat telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah. Ruang lingkup pelayanan dan jasa-jasa publik (public service) meliputi aspek kehidupan masyarakat yang luas. Luasnya ruang lingkup pelayanan dan jasa publik cenderung sangat tergantung kepada ideologi dan sistem ekonomi suatu negara. Negara-negara yang menyatakan diri sebagai negara sosialis cenderung memiliki ruang lingkup pelayanan lebih luas dibanding negara-negara kapitalis. Luasnya cakupan pelayanan dan jasa-jasa publik tidak identik dengan kualitas pelayanan itu sendiri. Karena pelayanan dan jasa publik merupakan suatu cara pengalokasian sumber daya melalui mekanisme politik bukannya lewat pasar, maka kualitas pelayanan itu sangat tergantung kepada kualitas demokrasi. Konsekuensi dari hal ini adalah negara-negara yang pilar-pilar demokrasinya tidak bekerja secara optimal tidak memungkinkan pencapaian kualitas pelayanan perizinan yang lebih baik. Bahkan sebaliknya, pelayanan perizinan tanpa proses politik yang demokratis cenderung membuka ruang baik praktek-praktek korupsi. Sistem kenegaraan dengan konstitusi yang pekat dengan normal keadilan, ekonomi Indonesia dicirikan oleh ruang lingkup pelayanan yang sangat luas. Sayangnya pelayanan yang menyentuh hampir setiap sudut kehidupan masyarakat tidak ditopang oleh mekanisme pengambilan keputusan yang terbuka serta proses politik yang demokratis, oleh karena itu tidak mengherankan jika pelayanan publik di Indonesia memiliki ciri yang cenderung korup, apalagi yang berkaitan dengan penyediaan produk-produk pelayanan yang bersifat perizinan dan lain-lain. Kendati mungkin fenomena korupsi yang berkaitan dengan jenis produk tadi hanya melibatkan biaya transaksi (antara sektor publik dengan individu masyarakat) yang relatif kecil (pretty corruption), tetapi biaya-biaya transaksi tersebut melibatkan porsi populasi yang sangat besar. Karena itu pola korupsi dengan menggunakan instrumen produk-produk pelayanan tersebut bisa jadi memiliki dampak yang luas. Masalahnya kemudian adalah bagaimana meminimalkan biaya-biaya transaksi tersebut, teramat sulit tentunya menjawab pertanyaan ini, kendati jawabannya merupakan bagian terpenting dari strategis pemberantasan korupsi di sektor publik. Karena itu kajian mengenai mekanisme pelayanan perizinan, berikut biaya-biaya transaksinya menjadi elemen penting dari strategis pemberantasan korupsi. Sejalan dengan itu prinsip market oriented organisasi pemerintahan harus diartikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah (aparatur) harus mengutamakan pelayanan terhadap masyarakat. Demikian juga prinsip catalytic government mengandung pengertian bahwa aparatur pemerintah harus bertindak sebagai katalisator dan bukannya penghambat dari kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya mempercepat pelayanan masyarakat. Dalam konteks ini, fungsi pemerintah lebih dititikberatkan sebagai regulator dibanding implementator atau aktor pelayanan. Sebagai imbangannya, pemerintah perlu membedayakan kelompok-kelompok masyarakat sendiri sebagai penyedia atau pelaksanaan jasa pelayanan umum. Dengan kata lain, tugas pemerintah adalah membantu masyarakat agar mampu membantu diri sendiri. Inilah sesungguhnya yang dengan prinsip self atau steering rather than rowing. Dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dan peluang, Pemerintah Daerah harus mampu untuk melakukan revitalisasi birokrasi dalam peningkatan kualitas pelayanan publik sehingga kesan birokrasi pemerintah yang lamban, berbelit-belit, kurang ramah dapat dihapuskan. Dengan ditetapkanya Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelengaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu merupakan landasan untuk menerapkan prinsip-prinsip pelayanan dalam memenuhi kebutuhan dan kepuasan penerima pelayanan perizinan. Dalam berbagai kebijakan tersebut pemerintah Kabupaten Sinjai telah melaksanakan revitalisasi birokrasi dengan membentuk Organisasi Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sinjai Nomor 19 tahun 2010 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis dan Lembaga Teknis Lainnya. Dan sesuai dengan Keputusan Bupati Sinjai Nomor 58 Tahun 2012 Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai serta diperkuat dengan Keputusan Bupati Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pelimpahan Sebahagian Kewenangan Pengelolaan dan Penandatanganan perizinan dari unit kerja teknis kepada Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai, dengan mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas pemerintah daerah di bidang pelayanan terpadu yang meliputi pemberian pelayanan perizinan dan non perizinan sesuai dengan Keputusan Bupati Sinjai. Sebagai institusi yang khusus bertugas memberikan pelayanan perizinan langsung kepada masyarakat, pada dasarnya dapat dikatakan sebagai terobosan baru atau inovasi manajemen pemerintahan di daerah khususnya di Kabupaten Sinjai. Artinya, pembentukan organisasi ini hendaknya memberikan hasil berupa peningkatan produktivitas pelayanan umum dalam mewujudkan pelayanan prima. Pembentukan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai dengan sistem penyelenggaraan pelayanan satu pintu dimana menyelenggarakan kegiatan pelayanan perizinan dan non perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat. Sebelum pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu dilaksanakan di Kabupaten Sinjai, maka proses pelayanan perizinan dan non perizinan dilaksanakan di instansi-instansi terkait dengan pelaksanaan perizinan dan proses pelaksanaannya sebelum tahun 2010 dilaksanakan secara terpisah setelah tahun 2010 pelayanan perizinan dilimpahkan kepada Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai dengan model pelayanan terpadu satu pintu, dan Perda yang mengatur sebelumnya dilaksanakan direvisi yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik karena pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pelayanan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan penyelenggara pelayanan publik. Sistem pelayanan terpadu satu pintu merupakan satu kesatuan pengelolaan dalam pemberian pelayanan yang dilaksanakan dalam satu tempat dan dikontrol oleh sistem pengendalian manajemen guna mempermudah, mempercepat, dan mengurangi biaya, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada peran usaha menengah dan mikro kecil, perlu penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan terpadu. Tabel 1.1 Jenis Pelayanan Perzinan dan Non Perizinan 5 (Lima Tahun Terakhir) di Laksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Sinjai No Jenis Perizinan SKPD Pengelola Dasar Peraturan Proses Penyelesaian 1 2 3 4 5 1. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Dinas Perindag dan Koperasi Perda Kab. Sinjai No. 2 Tahun 2005 tentang Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Usaha Perdagangan, Surat Keterangan Asal Barang (SKB-B) dan Izin-izin Lainnya Dalam Wilayah Kab. Sinjai 5 hari 2. Tanda Daftar Perusahaan (TDP) Dinas Perindag dan Koperasi Perda Kab. Sinjai No. 2 Tahun 2005 tentang Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Usaha Perdagangan, Surat Keterangan Asal Barang (SKB-B) dan Izin-izin Lainnya Dalam Wilayah Kab. Sinjai 5 hari 3. Surat Izin Tempat Usaha (SITU) Dinas Perindag dan Koperasi Perda Kab. Sinjai No. 2 Tahun 2005 tentang Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Usaha Perdagangan, Surat Keterangan Asal Barang (SKB-B) dan Izin-izin Lainnya Dalam Wilayah Kab. Sinjai 5 hari 1 2 3 4 5 4. Tanda Daftar Gudang (TDG) Dinas Perindag dan Koperasi Perda Kab. Sinjai No. 2 Tahun 2005 tentang Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Usaha Perdagangan, Surat Keterangan Asal Barang (SKB-B) dan Izin-izin Lainnya Dalam Wilayah Kab. Sinjai 5 hari 5. Ijin Gangguan (HO) Kantor Lingkungan Hidup Peraturan Daerah Kabupaten Sinjai Nomor 21 Tahun 2012 tentang Retribusi Ijin Gangguan 5 hari 6. Izin Reklame Dinas Pendapatan Daerah Perda Kab. Sinjai No. 4 Tahun 2012 tentang Pajak Reklame 3 hari 7. Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) Bagian Pembangunan Setdakab. Sinjai Perda Kab. Sinjai No. 31 Tahun 2012 tentang IUJK 3 hari 8. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Dinas Perumahan dan Tata Ruang Peraturan Daerah No. 20 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan 3 hari 9. Izin Trayek/Kartu pengawasan Dinas Perhubungan Perda Kab. Sinjai No. 22 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Trayek 3 hari 10. Ijin Usaha Kepariwisataan (SIUK) Badan Komunikasi, Informatika Kebudayaan dan Kepariwisataan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Sinjai Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pajak Hiburan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Sinjai Nomor 19 Tahun 2012 tentang Tempat Rekreasi 3 hari 11. Tanda Daftar Industri (TDI) Dinas Perindag dan Koperasi Perda Kab. Sinjai No. 2 Tahun 2005 tentang Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Usaha Perdagangan, Surat Keterangan Asal Barang (SKB-B) dan Izin-izin Lainnya Dalam Wilayah Kab. Sinjai 5 hari Sumber: BPMPP/PTSP Kab. Sinjai Tahun 2014 Total jenis izin yang ditangani adalah 11 (sebelas) yang telah dilimpahkan ke Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai dan dalam pelaksanaannya tetap dikoordinasikan dengan unit kerja pengelolanya masing-masing. Hal yang berkaitan dengan persyaratan, mekanisme, dan tata cara, jangka waktu penyelesaian dan biaya yang diperlukan, telah diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sinjai. Namun dalam perjalanannya selama ini masih banyak dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Berbagai cerita atau pengalaman dari masyarakat sebagai pengguna dari pelayanan perizinan yang sangat mengharapkan kualitas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dapat memuaskan masyarakat karena penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu yang diberikan oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai (PTSP) dapat memudahkan aktifitas masyarakat dalam pelayanannya dan pengurusan perizinan yang diperlukan oleh masyarakat. Kita semua menyadari pelayanan perizinan selama ini sangat sulit untuk memahami pelayanan yang diselenggarakan oleh birokrasi publik. Masyarakat pengguna jasa sering dihadapkan pada begitu banyak ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan birokrasi. Amat sulit memperkirakan kapan pelayanan itu bisa diperolehnya. Begitu pula dengan harga pelayanan. Harga bisa berbeda-beda tergantung pada banyak faktor yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh pengguna jasa. Baik harga ataupun waktu seringkali tidak bisa terjangkau oleh masyarakat sehingga banyak orang yang kemudian malas berurusan dengan birokrasi publik. Sebelumnya telah disebutkan bahwa keberadaan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan (PTSP) Kabupaten Sinjai secara empirik telah berhasil mendongkrak efesiensi dan produktivitas pelayanan perizinan. Namun perlu digarisbawahi pula bahwa fungsi Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai sesungguhnya tidak lebih sebagai penyelenggara pelayanan perizinan dan non perizinan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Otonomi daerah telah membawa implikasi pada terjadinya demokratisasi, termasuk juga dalam hal pelayanan publik. Masyarakat mulai kritis dan menuntut adanya peran birokrasi pemerintah yang lebif adaptif terhadap penguatan hak-hak publik dalam pemberian pelayanan secara luas dan berimbang. Peningkatan dan tuntutan masyarakat akan pelayanan yang efektif, efesien serta memuaskan diri dan memuaskan dari pegawai pemerintah sebagai pelayan publik semakin popular, hal ini terkait dengan perkembangan kebutuhan, keinginan dan harapan masyarakat yang terus bertambah dan kian mutahir, masyarakat sebagai subyek layanan tidak suka lagi dengan pelayanan yang berbelit-belit, lama dan berisiko akibat rantai birokrasi. Masyarakat menghendaki kesegaran pelayanan, sekaligus mampu memahami kebutuhan dan keinginan yang terpenuhi dalam waktu yang relatif singkat. Keinginan-keinginan tersebut perlu direspon dan dipenuhi oleh instansi yang bergerak dalam bidang jasa, apabila aktivitasnya ingin memiliki citra yang baik. Pihak manajemen perlu mengevaluasi kembali aspek pelayanan yang selama ini diberikan apakah telah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat yang dilayani, atau justru sebaliknya. Dampak dari apa yang ditunjukkan oleh kinerja birokrasi tentu saja dirasakan langsung oleh masyarakat. Selama ini perilaku birokrasi lebih bersikap tradisional dan feodalitis serta kurang humanis. Pandangan birokrasi yang demikian, birokrasi berada di atas rakyat dan bukan di tengah-tengah rakyat. Kultur feudal seperti ini, menumbuhkan adanya nepotisme sehingga kepentingan masyarakat yang seharusnya diberikan secara adil dan merata tersisihkan oleh faktor kedekatan atau kekerabatan, sehingga hanya orang-orang yang memiliki akses kedekatan inilah yang mendapat layanan pemerintah yang baik. Era globalisasi dewasa ini dalam pemerintahan modern, pelayanan perlu semakin didekatkan kepada masyarakat sehingga pelayanan yang diberikannya semakin baik. Asumsinya kalau pemerintahan dalam jangkauan masyarakat, maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, hemat, murah, daya tanggap, akomodatif, inovatif dan produktif. Secara filosofis fungsi pemerintahan adalah untuk mengatur dan melayani masyarakat. Menurut Ndraha (1997: 2), pemerintah adalah gejala sosial, artinya terjadi di dalam hubungan antar anggota masyarakat, baik antara individu maupun dengan kelompok, maupun antar kelompok dengan kelompok. Untuk menciptakan suasana kehidupan yang tertib, teratur serta terpenuhinya hajat hidup masyarakat, maka dibutuhkan adanya sistem pemerintahan, yakni organisasi yang memiliki aturan-aturan yang diperlukan dalam menata kehidupan masyarakat. Menurut Ndraha (2001: 110), terdapat hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah (masyarakat) dalam hubungan “janji dan percaya”, bahwa fungsi pemerintah adalah untuk melayani kepentingan dan memenuhi kebutuhan rakyat atau yang diperintah rakyat sebagai subyek yang diperintah memiliki kepentingan dan kebutuhan yang beraneka ragam yang diakomodasikan dan diagregasikan oleh pemerintah, sehingga menghasilkan berbagai barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah melayani kepentingan masyarakat melalui berbagai aktivitas produksi, distribusi, pelayanan serta pengendalian berbagai kebutuhan lainnya dalam bidang public servise, civil servise, dan steering servise. Menurut Pamudji (1994: 31) pelayanan publik atau public servise adalah berbagai kegiatan pemerintah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang barang dan jasa. Di dalam Undang-Undang 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dimana pelayanan publik diartikan sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan publik dalam hal ini, adalah pejabat, pegawai dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara negara, penyelenggara ekonomi negara dan koperasi penyelenggara pelayanan publik, serta lembaga independen yang dibentuk pemerintah. Masyarakat sebagai subyek yang dilayani adalah seluruh pihak yang berkedudukan sebagai orang perseorangan, maupun badan hukum. Opini yang dibentuk dalam masyarakat bahwa kualitas pelayanan aparat birokrasi kurang maksimal, antara lain dapat dilihat dari kinerja aparat yang sering melakukan tugas tidak sungguh-sungguh, prosedur pelayanan publik amat rumit, berbelit-belit kaku lamban, tidak ada kepastian penyelesaian, memerlukan biaya pelayanan yang mahal, persyaratan yang kurang transparan, sikap aparat yang kurang responsif dan lain sebagainya. Kondisi pelayanan publik masih kurang efektif dan efesien serta sumber daya aparatur belum memadai antara lain dapat dilihat pada saat mengurus pelayanan perizinan IMB, SITU, SIUP, TDP, TDI dan sebagainya. Pelayanan publik dimaksud sejatinya, tidak dapat diperjualbelikan dan tidak boleh diprivasikan, karena pelayanan publik merupakan kewajiban pemerintah diminta oleh setiap masyarakat, namun pada kenyataannya banyak aparat yang tidak memahami tugas dan fungsinya. Birokrasi berkewajiban melayani masyarakat, tetapi dalam kenyataannya justru masyarakat yang melayani birokrasi. Sikap dan perilaku yang tidak bersedia melayani kepentingan masyarakat secara adil dan merata itu masih nampak dibeberapa instansi. Rutinitas tugas-tugas dan pelayanan berlebihan pada pertanggungjawaban formal juga telah mengakibatkan prosedur kerja yang kaku, lamban dan kurang responsif sehingga berakibat pada rendahnya pelayanan publik. Formalistik merupakan salah satu ciri birokrasi di Negara berkembang, semakin formal situasi administrasi maka semakin kurang pengaruhnya terhadap perilaku yang sesuai dengan norma-norma yang digariskan. Memperhatikan kinerja dan kualitas pelayanan birokrasi yang masih memprihatinkan ini dapat dilihat misalnya banyak aturan dari panjang aturan, banyak tahapan yang harus ditempuh serta biaya yang relatif besar dikeluarkan oleh masyarakat yang mengurus administrasi publik. Menurut Ndraha (2001: 163), birokrasi pemerintah adalah struktur pemerintah yang berfungsi memproduksi jasa publik atau pelayanan sipil tertentu berdasarkan kebijakan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan berbagai pilihan dari lingkungan. Merujuk pada pendapat di atas, kualitas pelayanan publik untuk mewujudkan pelayanan prima merupakan kunci utama dalam menentukan berhasil atau tidaknya pelayanan pemerintahan melalui birokrasi dalam hubungan antara pemerintah dengan setiap warga masyarakat sebagai subyek pelayanan publik yang prima, efektif dan efesien. Masyarakat sipil (civil society) sebagai penerima layanan publik (sovering) berhak memesan, mengamanatkan, menuntuk dan mengontrol pemerintahan sehingga pelayanan publik memuaskan setiap orang pada saat dibutuhkan dalam jumlah dan mutu yang memadai. Peran serta masyarakat itu dapat diwujudkan dalam bentuk kerjasama, pemenuhan kewajiban maupun dalam bentuk pengawasan masyarakat. Pengawasan masyarakat sangat penting dalam hubungan dengan pelayanan sipil. Menurut Ndraha (1997: 2) alat terakhir untuk memenuhi dan melindungi masyarakat disebut layanan sipil (civil servise), dikarenakan layanan sipil dimonopoli pemerintah, maka pengawasan masyarakat sangat penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan aparat atau pejabat birokrasi melalui kerjasama, pemenuhan kewajiban dan pengawasan masyarakat. Masalah utama yang dihadapi dalam menerapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah oleh administrasi publik pada saat ini adalah semakin terbatasnya sumber data yang dipakai untuk keperluan melayani kebutuhan masyarakat. Masyarakat tidak hanya menuntut pelayanan publik yang efesien dan memuaskan, tetapi juga menginginkan perilaku administrasi publik yang efesien responsif dan mencerminkan kepatutan, keseimbangan, etika, dan kearifan (Kasim, 2002: 6). Pemerintah hadir untuk melayani dan mengatur masyarakat secara adil dan merata, tetapi wajah yang ditampilkan birokrasi pemerintahan kita selama ini cenderung kearah sebaliknya. Melihat yang terjadi sekarang ini, banyak perilaku aparatur birokrasi pemerintah yang nampaknya semakin jauh dari peran utamanya sebagai pelayan masyarakat, dan lebih cenderung berperan sebagai penguasa, yang minta dilayani masyarakat. Kurang baiknya pelayanan kepada masyarakat terjadi diberbagai tingkat dan sektor pemerintahan, salah satunya terjadi jajaran Pemerintah Kabupaten Sinjai pada Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai. Kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan, perilaku birokrasi di Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai sejatinya memberikan kualitas layanan yang baik bagi masyarakat. Respon masyarakat pengguna pelayanan bila ditelusuri terhadap kualitas pelayanan publik yang dilakukan aparatur birokrasi Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai tidak jarang ditemukan keluhan, kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap berbagai aspek pelayanan yang diberikan. Perilaku birokrasi di Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai tampaknya terjadi penyimpangan baik mengenai sikap, tingkah laku serta tindakan ataupun perlakuan. Kesan ini mengindisikasikan belum baiknya perilaku birokrasi di jajaran Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai dalam melayani kepentingan masyarakat. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai dalam menjalankan tugasnya yaitu melaksanakan kebijakan teknis di bidang pelayanan umum dan pelayanan perizinan kepada masyarakat belum sesuai dengan harapan. Indikasi ini salah satunya dapat dilihat dari waktu penyelesaian pelayanan perizinan yang diberikan belum dapat diselesaikan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) berdasarkan Keputusan Bupati Sinjai Nomor 399 Tahun 2012 tentang Prosedur Tetap/Standard Operating Procedure (SOP) Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Sinjai. Realisasi waktu penyelesaian pelayanan perizinan dapat dilihat pada tabel 1.2. Tabel 1.2. Standar Operasional Pelayanan pada BPMPP/PTSP Kabupaten Sinjai NO. Jenis Pelayanan SOP Realisasi 1 2 3 4 1. Ijin Gangguan (HO) 5 Hari 7 Hari 2. Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) 5 Hari 7 Hari 3. Tanda Daftar Perusahaan (TDP) 5 Hari 7 Hari 4. Tanda Daftar Industri (TDI) 5 Hari 7 Hari 5. Tanda Daftar Gudang (TDG) 5 Hari 7 Hari 6. Surat Ijin Tempat Usaha (SITU) 5 Hari 7 Hari 7. Ijin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK) 3 Hari 5 Hari 8. Ijin Usaha Kepariwisataan 3 Hari 5 Hari 9. Ijin Trayek 3 Hari 5 Hari 10. Ijin Penyelenggaraan Reklame 3 Hari 5 Hari 11. Ijin Pembuatan dan Membongkar Bangunan (IMB) 14 Hari 20 Hari Sumber: BPMPP/PTSP Kabupaten Sinjai Tahun 2014 Dari beberapa pernyataan customer dalam hasil Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) yang dilaksanakan oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai pada tahun 2013, ada beberapa customer yang menyatakan belum puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai, yang dibuktikan dengan beberapa pengaduan dari customer yang mencari dan menanyakan dimana/bagaimana memperpanjang berbagai macam izin dan berbagai pengaduan lainnya. Mengenai layanan publik bidang perizinan menjadi masalah yang cukup krusial karena ditengarai pengurusan perizinan di Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai sering dipersulit sehingga para pengusaha memprotes proses perizinan yang harus melalui beberapa tahap dan sangat menyulitkan. Menurut para pengusaha beberapa perizinan tidak dituntaskan dalam waktu singkat dan masih berbelit-belit. Belum lagi, banyaknya oknum yang bergentayangan membuat mereka risih. Keluhan tersebut misalnya diungkapkan dalam pertemuan dengan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai. Keluhan ini antara lain izin yang dipersulit, dipatok biaya tinggi dan adanya oknum dari aparat pemerintah daerah yang kerap datang tanpa surat tugas resmi. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Sinjai mengungkapkan salah satu hal yang kerap dipertanyakan para pengusaha adalah soal mekanisme pembuatan izin, waktu proses pembuatannya sampai dengan biaya izin yang harus dibayarkan pengusaha. Diantaranya izin HO, SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan Izin Reklame. Beberapa jenis perizinan ini banyak dikeluhkan karena tidak ada kepastian proses, persyaratan, cara dan biaya. Hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Selain itu hal penting yang sering dijadikan argument perlunya otonomi daerah adalah bahwa dimensi pelayanan publik yang semakin terdesentralisasi pada tingkat lokal. Hal ini sejalan dengan fungsi pokok pemerintah daerah (local government), yaitu pertama, fungsi pelayanan dan masyarakat (public service function) yang terdiri atas pelayanan lingkungan dan pelayanan personal. Kedua, fungsi pelaksanaan pembangunan. Ketiga, fungsi perlindungan. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut aparatur pemerintah daerah harus dapat menjabarkan dalam penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat sesuai fungsi masing-masing unit pelayanan. Untuk memotret pelayanan publik bidang perizinan di Kabupaten Sinjai digunakan konsep New Public Service (NPS). Pendekatan ini mengandung beberapa ide pokok, yaitu demokratis, strategis dan rasional, mengutamakan dialog untuk mencapai kesepakatan pelayanan, menganggap pengguna jasa sebagai warga negara dengan hak kewajiban melekat, responsif terhadap kebutuhan warga negara, memperhatikan aturan yang telah disepakati bersama, memberlakukan diskresi dan akuntabel meskipun banyak kendala, memiliki struktur kuat dan kolaboratif, serta memiliki motivasi kuat untuk melayani dan berkonstribusi pada masyarakat banyak (Purwanto, et.al., 2005). Dalam NPS tujuan utama adalah kualitas layanan. Kemudian budaya layanan adalah ramah dan inovatif serta ditekankan pada perubahan kultur pelayanan. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai sebagai salah satu instansi yang menyelenggarakan pelayanan publik khususnya yang berkaitan dengan penerbitan berbagai jenis izin dituntut bekerja secara professional serta mampu secara cepat merespon aspirasi dan tuntutan publik dan perubahan lingkungan lainnya dengan cara kerja yang lebih bersahaja dan berorientasi kepada masyaraka daripada berorientasi kepada atasan seperti yang terjadi selama ini dalam lingkungan birokrasi publik. Hal ini dikandung maksud agar pelaksanaan pelayanan perizinan akan lebih sederhana, efesien, ekonomis, tepat waktu, terbukti jelas, cepat dan bermanfaat. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai sebagai salah satu instansi publik bertugas menyelenggarakan pelayanan perizinan berupa pencatatan dan penerbitan berbagai izin, pada survey awal rekapitulasi data pegawai negeri sipil di lingkungan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pegawai negeri sipil di lingkungan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai berlatar belakang pendidikan Sekolah Menengah Atas, sedangkan yang berpendidikan S1 sebagai bentuk standar untuk dapat dianggap mampu menganalisis dinamika lingkungan kerja dan eksternal seperti perubahan kebutuhan masyarakat dan kemajuan teknologi hanya berjumlah 50% (persen) dari total pegawai negeri sipil yang berpendidikan SMA. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai untuk membangun aparatur yang profesional guna menjalankan fungsinya sebagai salah satu instansi penyelenggara pelayanan publik. Berbagai bentuk peningkatan SDM birokrasi melalui pelatihan dan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan tugas (job-need) dan aspirasi masyarakat mendesak untuk ditempuh dan dilakukan. Namun perubahan pada tingkat kemampuan pengetahuan dan keahlian saja tidak cukup untuk membangun birokrasi profesional. Faktor sistem dan kondisi yang ada juga ikut mempengaruhi terbentuknya birokrat profesional yang handal serta respon terhadap dinamika perubahan dan aspirasi masyarakat. Perubahan menuju model kerja yang positif dalam menjalankan roda pemerintahan dan menyelenggarakan pelayanan publik yang bermental entrepreneur serta perubahan gaya kepemimpinan dari autokratis menuju gaya kepemimpinan yang demokratis dan pembaharu serta didukung dengan model penghargaan yang mencerminkan rasa keadilan diyakini lebih mampu memotivasi prestasi kerja aparatur daripada sekedar meningkatkan kemampuan dan keahlian aparatur yang pada akhirnya akan masuk dalam lingkaran birokrasi yang tidak sehat. Keberhasilan pembangunan didukung oleh keberhasilan pembangunan administrasi. Realitas tersebut dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya Hartono (2004: 75) bahwa keberhasilan pembangunan administrasi terlihat dari perilaku birokrasi yang mampu mengemban perilaku birokrasi yang berkualitas dalam memenuhi kepuasaan publik. Sejalan dengan hal itu Osborne (1992: 141) menyatakan bahwa kunci dari keberhasilan pelayanan publik secara administratif terletak pada perilaku birokrasi yang berpihak pada publik. Selain itu Gebrald (2007: 19) menyatakan bahwa inti dari perilaku birokrasi adalah pelayanan untuk mewujudkan kepuasaan. Memahami penerapan peraturan perundang-undangan tersebut di atas dan pandangan para ahli, memberikan sebuah aspresiasi bahwa administrasi, perilaku birokrasi, pelayanan birokrasi, kualitas pelayanan dan kepuasaan merupakan fokus penting dalam memahami administrasi perilaku pelayanan publik. Hal ini dipandang oleh Semil (2005: 76) bahwa tujuan administrasi publik adalah membentuk perilaku birokrasi yang mampu mengemban kegiatan pelayanan dan berupaya mewujudkan kualitas pelayanan yang memuaskan. Ini berarti perilaku birokrasi dalam suatu organisasi memainkan peranan penting. Paradigma administrasi yang mengarah pada karateristik good governance dengan sasaran clean governance dimana upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan proses pelayanan publik merupakan suatu isu sentral dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi yang diemban oleh birokrasi. Fenomena ini sebagaimana diungkap oleh Caiden (Islamy, 2001) bahwa untuk meningkatkan kinerja administrasi individual, kelompok maupun lembaga secara efektif, efesien perlu meningkatkan profesionalisme aparatur pemerintah, yaitu kapasitas administrasi berupa tanggung jawab, semangat kerja, kedisiplinan. Secara kelembagaan perlu meningkatkan struktur, sistem dan prosedur, kepemimpinan maupun dengan klien, serta akuntabilitas dan responsibilitasnya. Indikasi dari pandangan ini bahwa draf reformasi administrasi Negara dimaksudkan mengacu kepada dua arah, yaitu masalah upaya penyempurnaan struktur di satu pihak dan perubahan perilaku aparat yang mengelola pelayanan untuk mewujudkan pelayanan untuk mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas. Mencermati pandangan tersebut jika dilihat kenyataan dalam pelayanan perizinan masih jauh dari harapan terwujudnya kualitas pelayanan yang menjamin terpenuhinya kepuasaan masyarakat. Hal ini disadari bahwa perilaku birokrasi pada sektor perizinan masih perlu diperbaiki baik berupa perilaku individu dan organisasi dalam menjalankan kegiatan perilaku birokrasi untuk mewujudkan kualitas pelayanan yang memuaskan. Orientasi perilaku pelayanan harus mendorong setiap tindakan dan kegiatan untuk mewujudkan tujuan individu dan organisasi. Thoha (2004: 75) menyatakan perilaku pelayanan dalam suatu birokrasi pada hakekatnya merupakan hasil interaksi antar individu dan organisasi untuk mencapai tujuan. Ditambahkan oleh Surich (2008: 14) menyatakan bahwa ketimpangan dari sebuah perilaku birokrasi dalam suatu kegiatan pelayanan terjadi jika interaksi individu dan organisasi tidak sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai. Pentingnya perilaku birokrasi sebagai penentu dalam aktivitas pelayanan untuk mencapai tujuan maka segala tindakan yang berorientasi pada pencapaian tujuan harus sesuai dengan perilaku birokrasi. Perilaku birokrasi pelayanan menurut pandangan Berger (Heady, 1959: 153) menyatakan bahwa ada tiga dimensi yang menyertai pola perilaku birokrasi dalam organisasi yang menunjukkan kegiatan pelayanan yang bersifat rasionalitas yang universal, berdasarkan hirarki dan kewenangan diskresi yang mendukung optimalisasi pelayanan. Perilaku birokrasi yang diharapkan adalah perilaku yang professional untuk mewujudkan aspirasi masyarakat yang tercermin dalam pelayanan yang berkualitas. Wujud dari perilaku birokrasi pemerintah yang modern sudah sejak lama disosialisasikan sebagaimana diperkenalkan oleh berbagai ahli dan penerapannya ke dalam organisasi privat maupun organisasi publik. Namun, dalam banyak hal kondisi penyelenggaraan pelayanan publik belum mengalami perbaikan yang berarti. Rendahnya kinerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik ditengarai oleh perilaku birokrasi yang belum professional. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia menurut penelitian Dwiyanto (2006: 257) memberikan indikasi bahwa pada umumnya para pejabat birokrasi belum mampu menempatkan para pengguna jasa birokrasi sebagai pelanggan yang memiliki kemampuan untuk memperbaiki nasib diri dan birokrasinya. Pengguna jasa masih diperlukan sebagai klien yang nasibnya ditentukan oleh tindakannya akibatnya diskriminasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik masih mudah dijumpai dalam birokrasi pelayanan. Berkaitan dengan kondisi pelayanan publik yang diselenggarakan di Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai sebagai tempat rujukan dalam pelayana prima, terdapat beberapa fakta yang menggambarkan bahwa perilaku birokrasi kurang professional dalam pelayanan. Berdasarkan hasil pengamatan awal peneliti selama beberapa bulan diduga penyelenggaraan tugas-tugas yang dilakukan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Kabupaten Sinjai belum optimal. Adapun Kondisi awal Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan adalah sebagai berikut : (1) Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan cenderung bersikap sebagai koordinator SKPD teknis pengelola izin dan penanaman modal. (2) Belum optimalnya mutu pelayanan yang meliputi pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen, yaitu perrencanaa, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi. (3) Hubungan kerja/koordinasi teknis antara sesama SKPD pengelola izin belum optimal. (4) Belum jelasnya skala prioritas pelayanan perijinan dan non perijinan serta penanaman modal. (5) Belum terhimpunnya data akurat dan aktual yang mendukung kegiatan penanaman modal. (6) Belum optimalnya pemberdayaan bidang penanaman modal sebagai sumber pendapatan daerah dan salah satu faktor pengungkit pembangunan ekonomi. (7) Rendahnya hubungan dengan pihak ketiga, baik pada tingkat daerah, nasional maupun internasional, dan (8) Belum jelasnya acuan pengembangan organisasi Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan. Fenomena lain yang terjadi pada pelayanan yang sering menjadi keluhan masyarakat terkait pelayanan publik terutama dalam perizinan, diantaranya adalah: (1) memperlambat proses penyelesaian pemberi izin, (2) mencari berbagai dalih, seperti kekurangkelengkapan dokumen pendukung, keterlambatan pengajuan permohonan, dan dalih-dalih lain yang sejenis, (3) alasan kesibukan melaksanakan tugas lain, (4) senantiasa memperlambat dengan menggunakan kata-kata: “sedang diproses”, (5) sulit dihubungi. Hal ini dapat dilihat hasil survey kepuasan masyarakat atas kinerja Pemerintah Kabupaten Sinjai (2012) bahwa lambatnya pelayanan mendominasi keluhan masyarakat, akibatnya sistem dan prosedur kerja belum optimal. Menurut Gibson (1996) rendahnya kualitas pelayanan dapat dilihat adanya keluhan masyarakat terhadap perilaku diskriminatif oleh birokrasi pelayanan. Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, aspek perilaku birokrasi yang dijalankan melalui prinsip pelayanan rasionalitas universal, pelayanan yang hirarki sesuai prosedur dan mekanisme kebijakan yang sejalan dengan aliran untuk melakukan keleluasaan kewenangan. Keputusan dan kewenangan dalam organisasi harus dijalankan sesuai aturan kelayakan dan kepatutan dalam mewujudkan kualitas layanan mewujudkan kualitas layanan dalam persepsi administrasi adalah terpenuhinya tingkat kepuasan dari dimensi kualitas layanan yang diterima. Keluhan masyarakat terhadap proses layanan yang dilakukan aparat birokrasi menunjukkan bahwa birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat belum optimal. Disisi lain aspek pelayanan yang berkualitas merupakan hal penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi pemerintah. Ditegaskan oleh Dwiyanto (2006: 15) bahwa telah terjadi kontroversi antara pelayanan yang diharapkan dengan pelayanan yang diterima. Kencenderungan birokrasi memberikan pelayanan kepada publik tidak sesuai dengan kepatuhan perilaku birokrasi yang mengutamakan kepentingan publik temuan cenderung bersifat mencari keuntungan individu dan organisasi untuk mempertahankan status quo dan resiten terhadap perubahan. Secara empiris dari hasil pengamatan yang peneliti peroleh dari berbagai laporan masyarakat ditemukan adanya keterlambatan pelayanan penyebab utamanya adalah perilaku birokrasi yang tidak mengarah kepada kebaikan dalam memberikan pelayanan prima sehingga diperlukan adanya revitalisasi birokrasi pada pelayanan perizinan. Dalam survey yang dilakukan oleh Dwiyanto, dkk. (2006: 50) dijelaskan bahwa nilai capaian kinerja birokrasi dalam hal produktivitas kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas birokrasi masih sangat rendah. Menurut penelitian The World Competitiveness Yearbook tahun 1999, tingkat indeks competitiveness birokrasi Indonesia berada pada urutan terendah dari segi kualitas pelayanan publik dibandingkan dengan 100 negara lain di dunia. Hasil penelitian tersebut diketahui juga bahwa dari sisi orientasi pelayanan birokrasi, masih cenderung tidak sepenuhnya mencurahkan waktu dan tenaga untuk menjalankan tugas melayani rakyat. Hampir 40% birokrat yang menjadi responden dalam penelitian itu menyatakan bahwa mereka memiliki pekerjaan lain di luar pekerjaaannya sebagai aparatur negara. Kondisi ini otomatis mengurangi konsentrasi mereka dalam bekerja sehingga tidak fokus mengerjakan tugas-tugasnya (Setiyono, 2004: 131). Pandangan yang serupa, dikemukakan oleh Susanto (2005), bahwa layanan publik yang biasanya menempel ditubuh lembaga pemerintah dinilai kurang dapat memenuhi tugasnya sesuai dengan khalayak, sebagai “konsumen” mereka. Salah satu yang dianggap sebagai biang keladinya adalah bentuk organisasi birokrasi, sehingga birokrasi selalu medapat pengertian yang negatif. Selain itu penyedia layanan masih belum patuh kepada ketentuan baku yang dibuatnya sendiri dalam menjalankan tugasnya. Penyimangan dari ketentuan yang telah ditetapkan acapkali tanpa adanya konsekuensi pengenaan sanksi. Birokrasi yang sangat hirarki itu tidak mampu membedakan tidak urgensi setiap pekerjaan atau pelayanan. Bawahan tidak berani berinisiatif dan pasif, harus menunggu petunjuk, perintah dan persetujuan dari atasan. Akibatnya kreatifitas, inisiatif dan sikap kemandirian aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan publik menjadi sangat kurang. Kualitas kinerja birokrasi pelayanan publik memburuk, lamban dan berbelit-belit. Berbagai penelitian yang relevan mengenai kinerja birokrasi pelayanan publik telah dilakukan, seperti hasil penelitian Dwiyanto, dkk. (2003) tentang reformasi tata pemerintahan dan otonomi daerah, mengemukakan berbagai temuannya antara lain bahwa pemerintah daerah (kabupaten dan kota) masih belum mampu mewujudkan prinsip keadilan dan persamaan perlakuan dalam pelaksanaan pelayanan publik. Perlakuan diskriminatif menurut hubungan pertemanan, afiliasi politik, kesamaan etnis dan agama masih banyak dijumpai dalam praktek penyelenggaraan pelayanan publik. Juga pemerintah daerah (kabupaten dan kota) masih menunjukkan responsivitas yang rendah dalam menangani banyaknya keluhan dan kebutuhan masyarakat yang berhubungan dengan pelayanan publik. Efisiensi dan efektivitas dari segi waktu dan biaya masih rendah. Perbedaan antara waktu penyelesaian dan biaya dari yang senyatanya diperlukan dan diinginkan masih sangat jauh. Ketidakpastian pelayanan dengan mudah ditemukan hampir setiap jenis pelayanan publik. Dwiyanto, dkk (2008) dalam penelitian lainnya mengenai “reformasi birokrasi” dalam lingkup nasional menyimpulkan bahwa rendahnya kinerja birokrasi publik sangat dipengaruhi oleh budaya yang cenderung mendorong aparat birokrasi untuk lebih berorientasi pada kekuasaan dari pada pelayanan, menempatkan dirinya sebagai penguasa, yang memperlakukan para pengguna jasa sebagai objek pelayanan yang membutuhkan bantuannya. Di samping itu, struktur birokrasi yang hirarkis mendorong adanya pemusatan kekuasaan dan wewenang pada atasan, sehingga aparat birokrasi langsung berhubungan dengan para pengguna jasa, sering kurang memiliki wewenang untuk merespon dinamika yang berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga pelayanan menjadi sangat kaku. Juga belum jelas dan tepatnya sistem insentif yang mampu memotivasi para aparat birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik secara efisiensi dan efektif menjadi salah satu faktor yang ikut membentuk rendahnya kinerja birokrasi pelayanan publik. Berdasarkan uraian di atas, peneliti terdorong untuk melakukan penelitian revitalisasi birokrasi dalam pelayanan perizinan di Kabupaten Sinjai dalam rangka peningkatan pelayanan. Dan akan mengkaji faktor-faktor pendukung dan penghambat yang mempengaruhi revitalisasi birokrasi dalam pelayanan perizinan di Kabupaten Sinjai. Dengan pertimbangan bahwa sepanjang pengetahuan peneliti, di Indonesia belum ada yang melakukan penelitian yang berkaitan revitalisasi birokrasi dalam pelayanan perizinan. B. Rumusan Masalah. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana proses revitalisasi birokrasi dalam pelayanan perizinan di Kabupaten Sinjai ? 2. Bagaimana kualitas pelayanan perizinan di Kabupaten Sinjai? 3. Faktor-faktor pendukung dan penghambat apa yang mempengaruhi revitalisasi birokrasi dalam pelayanan perizinan di Kabupaten Sinjai ?

Item Type: Thesis (S2)
Subjects: FAKULTAS ILMU SOSIAL > ILMU SOSIAL
Divisions: ?? sch_art ??
Depositing User: UPT PERPUSTAKAAN UNM
Date Deposited: 23 Jun 2016 03:12
Last Modified: 23 Jun 2016 03:12
URI: http://eprints.unm.ac.id/id/eprint/729

Actions (login required)

View Item View Item